Ayasofya, Saksi Jatuhnya Konstantinopel - Saya amat penasaran dengan bangunan ini sejak lama. Melihat beberapa gambarnya membuat saya bertanya-tanya sesungguhnya bangunan ini gereja atau masjid?? Rasa penasaran itu seakan terbayar ketika saya mengunjunginya Mei 2012 lalu. Ya, Hagia Sophia atau orang Turki menyebutnya Ayasofya adalah landmark Istanbul. Saya yang sebelumnya tidak tertarik membaca sejarah bangunan megah itu, menjadi sangat ingin mengetahuinya lebih jauh.
Ayasofya adalah sebuah bangunan penuh sejarah, menjadi saksi dari sekian banyak kisah. Kisah paling dramatis adalah saat Konstantinopel jatuh ke tangan Turki Usmani.
Ayasofya berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kebijaksanaan Suci. Digunakan sebagai gereja selama 916 tahun sejak dibangun tahun 537 dan beralih fungsi sebagai masjid selama 481 tahun. Dirancang oleh para ilmuwan Yunani yaitu Isidorus seorang Fisikawan dan Anthemius yang seorang ahli Matematika. Atas perintah Kaisar Justinian Bizantium bangunan gereja itu berdiri.
Kubah bangunan ini memiliki tinggi 55,6 meter dan dianggap sebagai lambang arsitektur Bizantium dan juga menjadi katedral terbesar di dunia selama hampir 1000 tahun. Sebenarnya pada tahun 360, Kaisar Constantine pernah membangun sebuah bangunan besar bernama Megalo Ekklesia (the Great Church) di tempat Ayasofya berdiri saat ini, namun terbakar pada tahun 404, lalu baru pada tahun 537 dibangun AyaSofya.
Sejarah Berdirinya Constantinopel
Konstantinopel, merupakan ibukota Kekaisaran Romawi Timur. Dalam sejarahnya, ibukota Romawi Timur sebelumnya adalah Nikomedia di Anatolia. Lalu sejak tahun 330 berpindah ke Byzantium dan akhirnya berganti nama menjadi Constantinopel.
Romawi Timur merupakan kekuatan terbesar ekonomi, budaya dan militer di Eropa. Wilayah kekuasaannya membentang dari Armenia (sebelah barat Turki) sampai ke Calabria di Italia Selatan juga sebagian Afrika termasuk Mesir. Kekaisaran Romawi terbagi menjadi barat dan timur pada sekitar tahun 395 setelah kematian Theodosius I yang merupakan kaisar yang memerintah seluruh Romawi.
Pembagian ini cukup penting karena di dasari oleh persamaan bahasa, di Romawi Barat penduduknya menggunakan bahasa Latin sedangkan Romawi Timur menggunakan bahasa Yunani. Tapi ternyata pemisahan ini menggerogoti persatuan kekaisaran Romawi saat itu.
Konstatinopel yang merupakan ibukota Romawi Timur merupakan wilayah strategis bagi jalur perdagangan bangsa-bangsa Eropa. Letaknya yang berada di jalur darat dari Eropa ke Asia serta jalur laut dari laut Hitam ke Laut Mediterania. Kota ini juga memiliki pelabuhan terbesar yang dijuluki sebagai Tanduk Emas karena bentuk semenanjung yang menyerupai tanduk.
Karena letak geografisnya yang strategis ini hampir selama abad pertengahan Konstatinopel menjadi kota terbesar dan termakmur di Eropa. Kota ini didirikan oleh Kaisar Konstantinus I pada tahun 330 (sebelumnya bernama Bizantium). Didisain untuk menjadi sebuah kota metropolis seperti kota Roma, fasilitas-fasilitas umum dibangun seperti alun-alun, jalan raya, saluran air, bahkan hipodromos (tempat pacuan kuda) yang menampung hingga 80.000 penonton dibangun di kota ini.
Jatuhnya Konstantinopel
Pada tahun 1450, ketika wilayah kekuasaan Turki Usmani semakin meluas di wilayah Balkan, posisi Romawi Timur hanya tersisa di Konstantinopel. Posisi yang tidak menguntungkan sebenarnya karena terjepit di Barat dan Timur, namun karena letak Konstantinopel yang strategis, maka Kaisar Constantine XI bersikeras mempertahankannya.
Ketika Sultan Mehmet II yang saat itu berusia 21 tahun naik tahta menggantikan ayahnya Sultan Beyazid I memberikan tawaran pada sang Kaisar Romawi untuk menyerahkan Konstatinopel. Sang Kaisar akan diberikan wilayah kekuasaan menjadi gubernur di Yunani dengan membawa seluruh harta kekayaannya serta dijamin keselamatannya asalkan mau meninggalkan Konstantinopel. Namun tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh sang Kaisar.
Penolakan itu serta merta mengakibatkan perang besar di kota ini pada tahun 1453. Diawali dengan pengepungan Konstantinopel pada 6 April 1453 di segala penjuru. Sang Sultan muda menggunakan meriam raksasa, senjata yang relatif baru pada masa itu untuk merobohkan benteng yang dibangun mengelilingi kota Istanbul.
Sebenarnya perang ini tidak seimbang, bayangkan saja tentara Konstantinopel saat itu hanya berjumlah sekitar 7.000 tentara sedangkan kekuatan pasukan Turki Usmani mencapai 100.000 tentara. Walaupun sudah dikerahkan penduduk Konstantinopel yang berjumlah 50.000 orang tetap saja tidak bisa mengimbangi kekuatan pasukan Turki waktu itu. Namun kuatnya benteng menjadi masalah tersendiri hingga menyebabkan Sultan Mehmet II merencanakan penyerbuan yang lebih masif.
Tanggal 28 Mei 1453, serangan besar-besaran dimulai sejak tengah malam. Warga kota semakin menyadari bahwa kekalahan sudah di depan mata. Lonceng-lonceng gereja dibunyikan, ribuan orang berkumpul di Ayasofya untuk melakukan misa perpisahan. Sebagian menyanyikan hymne suci, sebagian menangis dan sebagian yang lain saling bermaaf-maafan, rakyat Konstantinopel menyadari saat kematian akan segera tiba. Dalam prosesi malam itu, sang Kaisar juga berpidato di depan para panglima perangnya mengatakan bahwa dia akan ikut berjuang sampai titik darah penghabisan demi mempertahankan Konstantinopel.
Dini hari tanggal 29 Mei 1453, pertempuran besar terjadi sehingga menyebabkan benteng kota yang kokoh itu akhirnya mampu ditembus oleh pasukan Turki Usmani. Kota Konstantinopel jatuh di tangan Sultan muda Mehmed II.
Siang hari, Sultan muda itu memasuki kota yang telah luluh lantak lalu memerintahkan untuk mengakhiri pembunuhan. Sultan muda, penguasa baru kota Konstantinopel itu juga mengatakan pada penduduk kota, untuk beraktifitas seperti biasa seperti sebelum terjadi perang, juga beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Tidak ada pengrusakan bangunan apapun, termasuk gereja Ayasofya. Hanya saja Sultan Mehmed II memutuskan untuk merubah fungsi bangunan gereja itu menjadi sebuah masjid. Bangunan tidak diubah sedikitpun kecuali interiornya ditambah dengan mimbar untuk khotbah dan kaligrafi di sekeliling bangunan dan eksteriornya ditambah dengan 4 menara. Resmi dipakai sebagai masjid dan madrasa sejak tanggak 3 Juni 1453.
Ayasofya Saat Ini
Masuk ke dalam bangunan masjid yang sudah menjadi museum sejak tahun 1934 ini kita harus membayar tiket seharga 25 TL dan gratis untuk anak-anak usia 0 -12 tahun. Boleh membawa kamera, tapi tidak boleh membawa tripod. Benda ini harus dititipkan dibagian pemeriksaan, kita bisa mengambilnya lagi setelah keluar.
Ayasofya terdiri dari 2 lantai. Lantai dasar yang juga merupakan main hall yang dulu digunakan sebagai tempat ibadah, ornamen-ornamen gereja seperti gambar Yesus masih ada dalam bangunan ini berdampingan dengan kaligrafi Islam seperti lafadz Allah dan Muhammad serta beberapa tulisan kaligrafi lainnya seperti halnya dalam sebuah masjid. Uniknya, bangunan Ayasofya ini sudah nyaris menghadap ke arah kiblat, jadi tidak perlu lagi merubah tempat mihrab tempat imam hanya sedikit saja menggeser arahnya beberapa derajat.
Untuk menuju lantai 2, anda akan melewati lorong berukuran tinggi orang dewasa dan lebar sekitar 1,5 - 2 meter. Jangan khawatir capek untuk naik ke atas karena jalan menuju ke sana bukan berupa tangga tapi ramp yang landai. Di lantai 2, terdapat gallery. Nuansa gereja masih kental di sini, mozaik-mozaik kuno bergambar Bunda Maria dan Isa juga Kaisar Constantine dan istrinya bisa kita saksikan.
Dari lantai 2 ini kita juga bisa dengan leluasa menyaksikan kemegahan interior Ayasofya. Dari lantai inilah biasanya para fotografer mengambil gambar Ayasofya dari berbagai angle.
Yang jelas, dari Ayasofya saya bisa sedikit bisa mengambil gambaran bahwa Sultan Mehmed II itu adalah raja yang toleran. Walaupun sudah memenangkan peperangan namun beliau tidak serta merta menghancurkan dan memusnahkan bangunan peninggalan kerajaan sebelumnya yang non Islam termasuk gereja besar Ayasofya. Sejarah telah merekamnya....(
Wisata Turki)